JAKARTA, KOMPAS.com — Yusuf Arie Wibowo tidak bekerja di perusahaan yang hendak membeli pesawat Sukhoi Superjet 100, PT Sky Aviation. Yusuf, warga Jalan Lahor, Kecamatan Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, itu bekerja di rumah produksi yang satu kelompok perusahaan dengan Sky. Pada hari naas itu, Yusuf naik Sukhoi untuk melaksanakan tugas dokumentasi.
”Sebelum naik pesawat, Mas Yusuf sempat berfoto di depan pesawat dengan tulisan besar ’Sukhoi’, lalu dikirimkan dengan BBM (Blackberry Messenger) kepada saya,” kata Yeni Arisandi (30), adik bungsu Yusuf, di Malang, Minggu (13/5/2012).
Saat mengetahui ada tragedi Sukhoi Superjet 100, semua anggota keluarga sederhana ini shock. Yusuf yang kelahiran tahun 1975 ini merupakan anak pertama dan satu-satunya anak laki-laki di antara empat bersaudara anak-anak Ny Sri Rahayu Ningsih (60).
Keluarga ini telah kehilangan ayah mereka yang meninggal dunia tahun 1998. Posisi itu kini diambil alih Yusuf. Luluk, sepupu Yusuf yang menerima wartawan di rumah keluarga ini, di sebuah sudut gang sempit, menuturkan, hubungan Yeni dan Yusuf sebagai kakak beradik amat dekat. Semua hal yang dialami Yusuf juga diberitahukan kepada Yeni, termasuk foto-foto pesawat Sukhoi itu.
Setelah menamatkan kuliahnya di Akademi Komunikasi Indonesia, Yogyakarta, lanjut Yeni, Yusuf menjadi amat menguasai peranti lunak pengeditan video. Yusuf sempat bekerja di sebuah perusahaan perbankan. Namun, dua tahun terakhir ini, berbekal kemampuannya, Yusuf berpindah pekerjaan ke rumah produksi tersebut.
”Dia kakak dan pelindung dalam keluarga,” kata Yeni.
Yeni dan keluarga tahu bahwa Yusuf berada di dalam pesawat Sukhoi itu pada Rabu malam setelah siaran televisi memberitakannya. Esok harinya, Ny Sri Rahayu Ningsih bergabung dengan istri Yusuf, Adia Resvita, di rumah pasangan itu di Depok, Jawa Barat, untuk mencari kabar. Mereka akhirnya yakin dan jelas kian kecil berharap keluarga menikmati kebahagiaan dengan kehadiran Yusuf di tengah-tengah mereka.
”Ibu sudah melapor dan memberikan data Mas Yusuf untuk kepentingan identifikasi. Kini, kami hanya bisa menunggu,” tutur Yeni.
Masih berharap
Suasana duka masih terasa di kediaman reporter majalah Angkasa, Dody Aviantara, Minggu, di sebuah perumahan di kawasan Kunciran, Kota Tangerang, saat rombongan karyawan yang dipimpin CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo datang melayat.
Dody adalah salah satu dari 45 penumpang pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh dan menabrak Gunung Salak di kawasan Bogor, Jawa Barat, Rabu lalu. Saat kejadian, pesawat tengah menjalankan terbang gembira (joy flight).
”Kami masih menunggu perkembangan pencarian dan masih berharap besar Mas Dody selamat. Namun, kami juga sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk,” ujar Tony Ferdyantara, adik bungsu Dody, yang ditemui Kompas.
Menurut Tony, jika kemungkinan buruk terjadi, pihak keluarga berencana memakamkan mendiang di Pati, Jawa Tengah, dekat tempat tinggal keluarga besar sang istri. Secara implisit, katanya, Dody pernah menyinggung hal itu.
Dalam perbincangan itu, Tony juga menceritakan Dody sebagai sosok yang bertanggung jawab dan mencintai keluarga besarnya. Dody meninggalkan seorang istri, Tetty Setyorini, dan dua anak, yang terkecil masih berusia dua tahun.
Dody dikenal punya minat yang sangat besar pada dunia kedirgantaraan dan memahami dunia kemiliteran, terutama terkait peralatan utama sistem persenjataan.
”Kami bertiga, Mas Dody sebagai yang paling tua, kakak kedua saya, dan saya, sejak dahulu berminat pada dunia kedirgantaraan dan kemiliteran. Namun, hanya Mas Dody yang mendalami dan banyak membaca buku tentang itu. Pekerjaannya sekarang ibarat mimpinya jadi kenyataan,” ujar Tony.
Dody dikenal sebagai sosok wartawan yang sangat berdedikasi dan benar-benar memahami bidang kerjanya. Banyak karya jurnalistik berkualitas dia hasilkan selama ini.
Sementara itu, masih di Kota Tangerang, hingga hari keempat kecelakaan pesawat Sukhoi, belum ada kabar keberadaan Didik Nur Yusuf, fotografer majalah Angkasa. Akan tetapi, pihak keluarga masih meyakini akan ada mukjizat Tuhan terhadap Didik. Meski masih berharap, pihak keluarga juga sudah siap menghadapi kemungkinan terburuk yang menimpa Didik.
”Keluarga yakin, masih ada keselamatan yang diberikan Tuhan kepada Didik. Dengan mukjizat Tuhan, Didik akan dikembalikan kepada keluarga. Kalaupun yang terpahit dialami Didik, Allah akan memasukkannya di surga. Yang utama, keluarga berharap masih ada keselamatan bagi adik kami,” kata Nur Zulaicha (51), kakak Didik, saat menerima rombongan Kompas Gramedia di kompleks Puri Kartika Baru, Jalan Jambu, Ciledug, Kota Tangerang, Minggu.
Nur Laila, istri Didik, tampak lebih tegar dibandingkan dengan tiga hari sebelumnya. Sebelumnya, dia harus dibantu dengan infus untuk mengatasi penyakit asam lambung tinggi akibat tidak mau makan. (ody/dwa/pin)
Home » Berita » "Kini Kami Hanya Bisa Menunggu..."
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar