Sejak dicanangkan Program "Spot Stop" oleh Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Ir. Udhoro Kasih Anggoro, MS) di Kabupaten Lamongan tahun 2011, gaungnya sampai saat ini masih terasa, sebuah gerakan untuk melawan hama Wereng Batang Coklat (WBC). Pada waktu itu Dirjen TP menyampaikan disela-sela acara Workshop Penanganan WBC di Kab. Lamongan, Jawa Timur.
Spot Stop sendiri mempunyai arti upaya memberhentikan laju populasi WBC agar tidak eksplosif (meledak) sehingga tidak menimbulkan titik spot (hopper burn). Gerakan itu dari hari kehari terus dikampanyekan melalui berbagai kesempatan baik melalui pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Sasarannya jelas meningkatkan produktifitas hasil panen padi.
Bagaimana meningkatkan hasil panen?
Sebuah tantangan bersama bahwa upaya peningkatan produkktifitas menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat (Ditjen TP Kementerian Pertanian), Pemerintah daerah dan masyarakat tani yang tergabung dalam Gapoktan. Selain melalui upaya2 penyuluhan, pengawalan, juga melalui input bantuan sosial berupa benih unggul berkualitas, bantuan pupuk dan sarana penunjang produksi lainnya. Bantuan sosial digulirkan sebagai stimulan kepada petani sebagai pelaku utama agribisnis padi agar selalu bergairah menanam padi dan terjadi peningkatan produksi tiap tahunnya. Program seperti itu terus dan terus bergulir melalui kelompok tani maupun gabungan kelompok tani sebagai wadah yang memenejemen SDM petani di pedesaan. Selain itu juga dilakukan pengawalan melalui surveylance OPT padi untuk membantu petani dalam rangka pengendalian OPT, surveylance ini bertujuan untuk memonitoring perkembangan hama dan penyakit di tingkat lapang. Hasil akhirnya adalah memberikan rekomendasi pengendalian kepada petani melalui petugas di daerah (PPL, POPT dan Mantri Tani).
Namun dari berbagai sumber tentang semboyan Spot Stop, salah satu strateginya adalah "menurunkan serangan OPT". Pemahaman umum terhadap strategi tersebut adalah pengendalian dengan Pestisida, karena itu yang mudah diaplikasikan dilapangan serta terbukti hasilnya. Lha kalau ini terjadi seperti pada era 70an, maka racunlah yang akan mengisi tanah air kita. Jadi sia-sialah program perlindungan ramah lingkungan yang telah dibangun selama ini. Lagi pula kelihatannya pejabat di pusat dan daerah menerapkan semboyan spot stop tersebut untuk semua opt dan komoditi. Bahkan ada pejabat perlindungan yang menargetkan intensitas serangan maksimal 5 %. Bisakah semua tanpa pestisida ? Mampukah agensia hayati dan sejenisnya menjawab keinginan pejabat yang sedang mempertahankan kedudukannya ? Kegalauan seorang pembaca dari blog ini sengaja saya repost, sebagai bahan renungan bagi kita bersama. Bagaimana menurut anda???
(USR)***
.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar