Yockie, God Bless, dan Budaya Tanding

Bookmark and Share
http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/god-bless-02.jpg

TRIBUNNEWS.COM - Dalam kehidupan kemasyarakatan atau organisasi, fenomena budaya tanding itu sering kita jumpai, biasanya dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap suatu hal yang dianggapnya menyimpang atau tidak seideologi lagi. Bahkan budaya tanding ini sering dimaknai pula sebagai bentuk perlawanan atas konflik yang ada. Pemahaman atas budaya tanding yang dimaksud di sini adalah bagaimana budaya tanding itu sendiri menumbuhkan sifat kompetitif yang sehat dan kreatif.

Sebagai contoh begini, Yenny Wahid memilih keluar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), alasannya visi politik parpol yang kini dipimpin oleh Muhaimin Iskandar ini dianggap sudah menyimpang dari visi politik founding fathers Gus Dur. Lalu pilihannya mendirikan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) sebagai budaya tanding atas PKB. Bahkan Yenny selaku ketua umum PKBN berani sesumbar bahwa partainya bakal mampu mengungguli PKB-nyaMuhaimin Iskadar dalam pertarungan di panggung politik Pemilu 2014. Kalau konteksnya musik, ya adu sukses di panggung musik.

Atau pada zaman bagaimana Megawati mendeklarasikan budaya tanding Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDIP) untuk melawan Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soeryadi. Dalam pemilu ternyata PDIP bukan saja berhasil menggilas PDI, juga melambung menjadi salah satu dari tiga partai terbesar di Indonesia. Fenomena budaya tanding dalam dunia politik sudah jamak. Bahkan banyak pula ketika sang tokoh politik merasa disingkirkan dari kedudukan, lalu keluar dan bikin budaya tanding mendirikan partai politik baru yang pada intinya plafon politiknya tak jauh beda. Kalau di musik, antara God Bless dan Gong 2000.

Budaya tanding ini bukan saja terjadi konstelasi kehidupan partai politik. Budaya tanding ini juga terjadi di jagad musik. Bagaimana seorang Ritchie Blackmore karena tidak ada kecocokan lagi dengan personil Deep Purple lainnya memilih keluar dan membentuk Ritchie Blacmore - Rainbow, tanpa perlu lagi harus mengungkit-ungkit lagi karyanya di grup band lamanya yang ikut dia diri, termasuk yang mengusulkan nama Deep Purple. Dan dia tidak mempersoalkan itu.

Daripada energinya habis terkuras menyoal karyanya yang ada di Deep Purple. Mendingan konsentrasi membesarkan grup band barunya, atau mendaur ulang lagu ciptaannya dalam versi grup band barunya di Rainbow, seperti Child In Time, Mistreated, atau Burn. Begitu pula Rick Wakeman, sekeluar dari Yes memilih bersolo karir, dan melahirkan mahakarya diantaranya King Arthur, Journey To The Centre Of The Earth, atau The Six Wives Of Henry VIII.

Atau, Nomo Koeswoyo karena merasa tidak cocok lagi dengan saudaranya di Koes Bersaudara, lalu keluar dan membentuk No Koes. Bahkan keberadaan No Koes ini menjadi budaya tanding terhadap Koes Bersaudara yang kemudian jadi Koes Plus. Meski popularitas tidak semelambung Koes Plus, tapi paling tidak No Koes sudah menunjukkan eksistensinya di jagad musik setelah hengkang dari Koes Bersaudara. Bahkan di antara lagu No Koes merupakan daur ulang dari lagu Koes Bersaudara.

Begitu pula dengan Ian Antono sekeluar dari God Bless memilih mengekpresikan diri sebagai aranjer dalam berbagai proyek rekaman penyanyi. Saat itu mantan gitaris God Bless ini tidak mau energi kreatifnya terkuras habis untuk ngurusin izin tidaknya lagu Rumah Kita, Ogut Suping, Bla Bla Bla, Balada Sejuta Wajah, atau Selamat Pagi Indonesia dibawa keliling dalam Tur Raksasa God Bless. Hengkang dari God Bless, membentuk Gong 2000, dan menerbitkan 3 album; Bara Timur, Laskar, dan Prahara. Uniknya, grup band bentukan Ian Antono ini juga diperkuat oleh dua personil God Bless lainnya yaitu Achmad Albar dan Donny Fattah.

Begitu hengkang dari Deep Purple, Yes, God Bless, baik itu Ritchie Blackmore, Rick Wakeman, Nomo Koeswoyo maupun Ian Antono tidak mau lagi dihantui oleh beban bayang-bayang masa lalu di grup band lamanya yang ia tinggalkan. Baginya, masa lalu adalah sejarah. Biarlah masa lalu menjadi kenangan atau romantisme nostalgia. Karena seniman `hidup' dari karya, bukan dari kenangan yang ada di masa silam. Untuk itu seniman harus terus berkarya guna menunjukkan eksistensinya dengan melakukan budaya tanding.

Itu sedikit ilustrasi mencontohkan soal budaya tanding. Seandainya Yockie Surya Prayogo merasa `terdzolimi' oleh God Bless hanya dikarenakan `lagu-lagu God Bless ciptaannya' sering dibawakan tanpa izin yang bersangkutan, kenapa tidak menyikapi dengan mendeklarasikan budaya tanding yaitu membentuk grup band baru tandingan God Bless. Itu lebih elegan. Daripada energy kreatifnya terkuras menyoal karyanya di grup band lamanya.

Setidaknya sebagaimana dicontohkan kebesaran jiwa Ritchie Blackmore, Rick Wakeman, Nomo Koeswoyo maupun Ian Antono. Atau juga sebagaimana dilakukan mantan dramer God Bless, mengatasinya dengan membentuk grup band TSP (Teddy Sujaya Project). Karena seniman `hidup' dari karya, bukan dari kenangan yang ada di masa silam. Untuk itu seniman harus terus berkarya guna menunjukkan eksistensinya.

Kita pun harus ingat, bahwa ketika sebuah karya musik dirilis dan dipublikasikan, karya tersebut bukan lagi milik sang seniman tapi sudah menjadi milik masyarakat yang bersangkutan, bahkan menjadi milik dunia. Jadi nggak usalah diusik-usik lagi. Ikhlaskanlah God Bless dengan segala lagunya yang sudah jadi miliknya sebagai grup band legendaries dan menjadi nostalgia masa silam. Karena sebagai grup band legendaris, God Bless itu sendiri kini ibarat cagar budaya musik yang harus kita jaga, lindungi, rawat, dilestarikan, dan diapresiasi sebagai aset budaya budaya bangsa. Atau kalau perlu direspon bikin budaya tanding dengan menumbuhkan sifat kompetitif yang sehat dan kreatif, untuk mengukir sejarah baru. Kata Gus Dur, gitu aja kok repot!

Alex Palit: pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi), saat ini sedang menyelesaikan tulisan buku God Bless.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar