Alasan Syukur Pidanakan Ketua KPU dan Komisionernya

Bookmark and Share
http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/Muhamad-Syukur-Mandar-1.jpg

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Hanura Muhammad Syukur Mandar bukan tanpa alasan memidanakan Ketua KPU Abdul Hafiz Ansary dan empat komisionernya yakni Syamsul Bahri, Abdul Aziz, I Gusti Putu Artha, dan Endang Sulastri ke Mabes Polri atas tuduhan surat palsu dan memberi keterangan palsu.

Calon legislatif daerah pemilihan Maluku Utara ini yakin jika tak ada perbuatan pidana yang diduga dilakukan kelimanya, Syukur yakin saat ini sudah duduk sebagai anggota dewan di Senayan. Namun entah kenapa, suara dirinya justru hilang setelah putusan pleno KPU Pusat.

"Pleno penghitungan rekapitulasi suara di tingkat KPU Provinsi Maluku Utara dan KPU Kabupaten Halmahera Barat diubah secara sepihak oleh KPU Pusat. Modus perubahan itu dilakukan melalui penerbitan surat rekapitulasi baru," ujar Syukur di DPR, Jakarta, Rabu (12/10/2011).

Pada 7 Mei 2009, KPU Provinsi Maluku Utara di Kota Ternate menggelar sidang pleno dengan memutuskan Syukur sebagai suara terbanyak ketiga dari tiga kursi yang diperebutkan semua partai untuk caleg DPR RI. Syukur mendapat suara ketiga setelah Demokrat dan Golkar.

Hasilnya lalu dibawa ke KPU Pusat dan pada 9 Mei 2009, digelar lah rapat pleno tentang rekapitulasi tingkat nasional khususnya membahas daerah pemilihan Maluku Utara. "Saat itu KPU Pusat secara serta merta melakukan perubahan data, tanpa mendasarkan pada hasil rekapitulasi yang telah ditetapkan dalam rapat pleno KPU Maluku Utara," terangnya.

Dalam sidang pleno dihadiri Hafiz dengan pimpinan sidang Putu. Di sini lah terjadi perubahan data secara sporadis. Syukur sebagai pihak yang dirugikan tak diberi kesempatan memberikan klarifikasi data. Hasil pleno, lalu diterbitkan satu berita acara baru untuk diteruskan KPU Provinsi Maluku Utara.

Kata Syukur, KPU Pusat mengeksekusi lebih dulu pembatalan suara rekapitulasi, baru diterbitkan surat sertifikat palsu yang ditandatangi dua oknum anggota KPU Provinsi Maluku Utara tanpa diputuskan dalam rapat pleno. Jelas ini tak prosedural, kata Syukur.

"Cuma tiga orang (KPU Maluku Utara) lainnya tidak menandatangai karena sepakat hasil rapat pleno waktu itu. Diubahnya secara sporadis. Ketika saya mau menyampaikan data, Ketua KPU bilang sudah selesai. Anda ke MK saja. Terkesan inilah modus operandi yang mereka lakukan," tuding Syukur.

Secara bersamaan, KPU juga melakukan perubahan rekapitulasi suara Syukur di Kabupaten Halmahera Barat. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan angka yang dimasukkan dalam sertifikat baru yang diterbitkan dari pleno KPU Pusat, yang menurut Syukur dipalsukan.

Singkat cerita, Syukur pun menggugat ke MK dengan PHPU nomor 84. Dalam persidangan yang dipimpin Mahfud MD Syukur sebagai penggugat dan KPU Pusat sebagai tergugat dan KPU Maluku Utara dan KPU Halmahera Barat sebagai turut tergugat diminta menyertakan data suara P1 (Suara Provinsi) dan P2 (Suara Provinsi).

Permintaan hakim dituruti Syukur dengan menyorongkan data di tingkat provinsi dan kabupaten. Namun entah mengapa, tergugat menyerahkan data sampai di tingkat PPK atau kecamatan, melebihi permintaan hakim. Dalam putusannya, MK menimbang data tergugat lebih valid dibanding data Syukur dan permohonannya ditolak.

Syukur menilai ada permainan di tingkat panitera, karena hakim hanya minta data provinsi dan kabupaten. Dan ternyata, data kecamatan yang dijadikan bukti oleh turut tergugat adalah data hasil perubahan sepihak tanpa pleno. Syukur mengaku memiliki bukti data kecamatan yang dimaksud, dan ia siap menghadirkan saksi di polisi.

"Yang paling mengganjal dalam proses persidangan adalah bahwa KPU Provinsi sebagai termohon, dan KPU Kabupaten sebagai termohon tidak hadir dalam persidangan ketika melakukan klarifikasi atas gugatan kami. Itu lah pertanyaan besar kami kenapa mereka dimenangkan saat itu," tanyanya.

Selain itu, Syukur meminta rekaman persidangan itu dibuka. Pasalnya, Mahfud MD mengatakan termohon atau turut termohon yang tidak datang mengklarifikasi gugatan pemohon, maka pemohon wajib dimenangkan. Dalam kasus Syukur, di persidangan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten tak melakukan klarifikasi tapi dimenangkan. (*)

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar