Diskriminasi adalah ”makanan sehari-hari” kaum waria atau transjender. Bahkan, Mariani (52) dari Pondok Pesantren Waria kerap menerima cercaan dan hinaan ketika hendak beribadah.
”Kalau cuma dibilang haram, najis, itu sudah biasa,” ujarnya di sela-sela Konferensi Asia Pasifik Ke-6 Hak-hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (APCSRHR) di Yogyakarta, pada 19-22 Oktober 2011.
Ines (24) juga kerap mengalami tindakan tak menyenangkan. ”Apalagi saya kerja di jalanan. Susah mencari pekerjaan untuk orang seperti saya, apalagi hanya lulus SMP,” katanya.
Diskriminasi verbal dan ancaman kekerasan fisik dialami kelompok transjender di mana pun. ”Ada undang-undang antidiskriminasi yang baru disahkan, tetapi berat implementasinya,” ujar Rani Ravudi dari Survival Advocacy Network Fiji (SAN Fiji).
Hak-hak dan kesehatan reproduksi dan seksual (SRHR) merupakan isu universal. Semua orang, muda-tua, maskulin-feminin, kaya-miskin, menghadapi risiko sama terkait kesehatan reproduksi dan seksual. Namun, kelompok lesbian, gay, biseksual, transjender, queer, dan interseks mengalami diskriminasi paling parah. Mereka dipinggirkan karena orientasi seksual dan identitas jendernya, serta menghadapi ancaman dari kaum homofobia dan ekstremis transfobia.
Bahkan, sikap Pemerintah Thailand terhadap kelompok nonheteroseksual yang semula relatif ”lebih longgar” mulai berubah. Seperti diungkapkan Dr Arnika Fuhrmann dari Universitas Hongkong pada sesi diskusi mengenai politik seksual, Sabtu (22/10), Kementerian Kebudayaan Thailand semakin serius memobilisasi seruan menolak perilaku homoseksual.
Masyarakat negara-negara Asia-Pasifik terdiri dari berbagai bentuk politik, agama, dan keyakinan normatif yang heterogen, tetapi tak cukup menghargai hak-hak dan kebutuhan individu serta kelompok minoritas, termasuk dalam hal orientasi seksual.
SRHR merupakan wilayah kontestasi politik yang paling serius karena benturan antara moral (agama) dan realitas sosial. Dimensi politik dalam isu ini sangat kental. Kaum gay mendapat stigma buruk sebagai pendosa dan penyebar AIDS ketika Reagan (dari Partai Republik) berkuasa sehingga riset tentang HIV terlambat.
”Lebih dari 10 tahun perjuangan untuk mengesahkan Ordinansi tentang Kesehatan Reproduksi, tetapi gereja Katolik memblokirnya di parlemen,” ujar Francisco M dela Tonga, wakil kaum muda dari Filipina.
Bahkan, istilah ”hak seksual” dalam berbagai konferensi internasional ditentang banyak negara yang secara politik berpunggungan. Hal itu terlihat dalam negosiasi dokumen-dokumen penting yang menjadi landasan perjuangan hak atas kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual sebagai hak asasi manusia, khususnya Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994 dan Konferensi IV mengenai Perempuan dan Pembangunan di Beijing tahun 1995.
Meski demikian, aliansi global perempuan berbagai agama dan kebudayaan berhasil memasukkannya ke dalam Pasal 96 Beijing Platform for Action: ”hak asasi manusia termasuk hak perempuan mengontrol dan memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab hal-hal yang terkait dengan seksualitasnya, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, bebas dari koersi, diskriminasi dan kekerasan.”
Namun, pada tahun 2000, ketika para pemimpin berkumpul di New York untuk memformulasikan kunci Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), SRHR kembali tak secara eksplisit masuk ke dalam dokumen final karena sikap keberatan beberapa negara.
Dokumen Kairo masih menjadi komitmen dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, untuk mencapai konsensus internasional tetap saja sulit.
Sampai tahun 2011, banyak pemerintah gagal memenuhi komitmen yang dibuat 17 tahun lalu di Kairo. Mereka tetap tidak memasukkan unsur-unsur yang menjamin kesehatan reproduksi dan seksual yang menghargai hak-hak reproduksi dan seksual individu.
”Upaya mengangkat hak-hak reproduksi dan seksual dalam kerangka hak asasi manusia harus berhadapan dengan fundamentalisme agama dan ekstremisme,” kata Saira Shameem dari Asia-Pacific Resource and Research Centre for Women (Arrow).
Kepala BKKBN Dr Sugiri Syarief mengingatkan, untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terkait kesehatan reproduksi dan seksual, seperti menghentikan penyebaran HIV/AIDS, pembatasan kesuburan, mengurangi angka kematian ibu dan bayi, bersama promosi keadilan jender, merupakan komponen sentral dalam upaya penghapusan kemiskinan.
”Upaya itu harus dilakukan dengan tiga prinsip, yakni nondiskriminasi, kesetaraan, dan kewajiban negara. Ketiga prinsip ini harus menjadi fondasi bagi perjuangan untuk memenuhi hak asasi manusia dan menciptakan kesejahteraan dalam arti luas, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual,” ujarnya.
Bulan November 2006, di Yogyakarta, para pakar dunia tentang hak asasi manusia terkait identitas jender dan orientasi seksual meluncurkan serangkaian panduan bagi pemerintah untuk mempromosikan penghargaan pada hak-hak seksual individu.
Dalam pertemuan empat hari APCSRHR, sekitar 1.000 peserta –200 di antaranya kaum muda— saling berbagi pengalaman dan menyimpulkan kegagalan bertindak.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar