Merapi Bertindak Memakai Caranya Sendiri

Bookmark and Share

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYAKARTA - Hari Selasa, 26 Oktober 2010, tercatat sebagai hari letusan dahsyat gunung Merapi. Tepat pukul 17.02 WIB, gunung berapi teraktif di Indonesia memuntahkan awan panas disusul dentuman keras serta kolom asap tinggi. Luncuran awan panas ke arah barat dan barat daya serta selatan-tenggara itu mengakibatkan 165 orang tewas, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Marijan atau Raden Ngabehi Surakso Hargo.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Drs Subandriyo Msi, mengatakan, letusan tersebut merupakan erupsi besar yang menurutnya boleh jadi hanya terjadi sekali dalam 100 tahun. Saking besarnya, letusan tersebut tercatat dalam indeks skala IV Volcano Eruption Index (VEI). Gunung setinggi 2.961 mdpl itu menyemburkan lebih dari 100 juta meter kubik material vulkanik.

"Erupsi Merapi 2010 merupakan letusan dahsyat dan membawa banyak implikasi," kata Subandrio, yang ditemui di ruang kerjanya, Selasa (25/10) pagi.

Erupsi tersebut mengubah morfologi secara signifikan puncak gunung. Pascaletusan, terbentuk kawah baru yang memiliki diameter 500 meter dan kedalaman lebih kurang 200 meter. Perubahan lain adalah bukaan kawah tersebut mengarah ke tenggara dan selatan menuju alur Kali Gendol.

"Arah erupsi dapat diprediksi, salah satunya dari bukaan kawah. Artinya permukiman di selatan gunung menjadi rawan bahaya," lanjutnya.

Dengan demikian, ia mengatakan perlunya dilakukan penataan permukiman penduduk di kawasan rawan bencana. Menurutnya, desa-desa di arah tenggara dan selatan, yaitu Desa Srunen, Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul Yogyakarta, dan Desa Balerante, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah dikategorikan rawan bahaya.

"Mengantisipasi letusan mendatang perlu dilakukan pengurangan risiko dengan penataan permukiman," katanya sambil menyebut acuan Undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Letusan Merapi 2010, kata Subandrio, juga menjadi pembelajaran bagi masyarakat di lereng gunung tentang ilmu titen dan mitos letusan. Letusan Merapi 2010 yang meluluhlantakkan Desa Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta di sisi selatan gunung membuktikan mitos letusan tidak bakal ke arah selatan tak lagi terbukti.

Dari pengalaman kemarin, ia mengingatkan masyarakat alam serta Merapi tak lagi bekerja seperti biasanya, melainkan bertindak sendiri. "Mitos erupsi tak bakal ke selatan tak lagi dapat dipercaya. Letusan 2010 membuktikan alam bertindak dengan caranya sendiri," tegas Subandrio.

Letusan besar 2010 juga berdampak pada perubahan pola pengamatan Gunung Merapi. Sekarang, karena kondisi morfologi kawah yang berubah mau tak mau petugas juga mengubah sistem pengamatan baru.

"Dahulu petugas mengukur suhu dengan menggunakan termometer ke permukaan kawah. Namun sekarang cara-cara lama tak bisa digunakan lagi," kata Subandriyo.

Rencananya, bersamaan Ekspedisi Sabuk Merapi 2011 yang digelar Harian Tribun Jogja didukung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BPPTK Yogyakarta, stafnya akan memasang sejumlah alat sensor jarak jauh di lokasi-lokasi tertentu. Kegiatan ekspedisi akan dilakukan selama tiga hari, Rabu-Jumat (26-28/10) dengan melakukan pengamatan di empat rute penting, Selo, Babadan, Kinahrejo, dan Srunen.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar